Selasa, 25 Mei 2010

MAPAN DULU atau AGAR MAPAN?




Ya, kemapanan merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk menikah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah jika belum mapan dari sisi keuangan. Ada saja ikhwan yang tidak mau melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri atau memiliki karier yang mapan di perusahaan. Begitu juga dengan akhwat, beberapa dari mereka lebih berharap yang datang melamar adalah ikhwan yang sudah ‘jadi’, apalagi jika ia sendiri sudah cukup dari segi keuangan.

Saya ingin membawa sedikit analogi dengan mengajak anda untuk mengenang kembali kapan terakhir anda melihat pemandangan yang sangat indah dari dataran yang lebih tinggi. Pemandangan dari puncak Lembang, atau daerah perkebunan teh yang sejuk di Ciwidey misalnya, atau mungkin cukuplah pemandangan dari pelataran Masjid at-Ta’awun di daerah Puncak, Subhanalloh sekali, betapa Alloh telah menciptakan bumi dengan begitu indahnya.

Diskusi Kita


Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar

Saya bersyukur dengan ini semua. Ditaqdirkan untuk bertemu dengan keluarga yang memiliki banyak keutamaan. Semoga ini bisa menjadi modal kita kelak membangung keluarga yang ahlul ilmi. Karena memang sejarah itu ada di dalam keluarga kita.

1. Terkait dengan respon bapak

Saya sangat menghargai pertimbangan yang bapak jadikan landasan untuk memilih. Di atas semua pertimbangan dzohir, saya yakin ada pertimbangan bathin di sana. Saat ini kita memang akan menjadi sorotan dan bahan pembicaraan. Itu akan terjadi hari ini, esok, dan lusa, hingga kita selesai melewati semuanya. Bahkan bukan saja itu, bisa jadi "tidak ada kata selesai" untuk kita dijadikan 'obyek penelitian' keluarga. Ini adalah hal yang positif.

Karena saya memandang, ini akan jadi modal kita untuk menjadi mercusuar dakwah bagi lingkungan keluarga. Kita berharap, dengan menjadinya kita sebagai sorotan mereka, maka kelak kita juga bisa menjadi referensi mereka dalam banyak hal lainnya dalam bab kehidupan ini. Semoga kita bisa memanfaatkannya untuk memberikan keteladanan kehidupan rumah tangga yang islami. Saya yakin dengan itu, dan saya harap anti juga memiliki keyakinan yang sama.

2. Terkait dengan Keputusan bapak

Ukhti, amanah terbesar seorang suami adalah menjaga titipan amanah dari orangtua isterinya. Bukan saja amanah dalam bentuk sosok wanita yang bernama isteri, tetapi juga amanah dalam bentuk yang lainnya. Esok, beliau juga akan jadi orangtua saya. Dan itu artinya, beliau juga menjadi lumbung pahala bagi saya.

Salah satu keistimewaan hidup berumahtangga adalah diperbolehkannya monopoli kebaikan di dalam keluarga itu. Maksudnya, kita bisa manjadi sumber kebaikan bagi bapak (dan orangtua) kita, dan mereka pun bisa menjadi sumber kebaikan untuk kita. Kuncinya hanya dua saja. (saya pernah menyampaikan ini sebelumnya), yaitu: Sabar dan Syukur.

Sabar dengan segala yang kurang, itu akan mengantarkan kita ke SyurgaNya. Dan Syukur dengan segala yang lebih, itu juga akan mengantarkan kita pada terminal yang sama, yaitu: SyurgaNya.

Jadi, tak ada ruang untuk duka dan lara di sana. Semuanya adalah kebaikan. Dan Esok, setelah tanggal itu, akan terhampar medan amal yang sangat luas bagi kita untuk menanam, menyemai, dan memanen kebaikan.

Salah satu yang terbesarnya adalah Melanjutkan Birrul Walidain kita. Bahkan, kalau semula hanya kepada 2 orang tua, tapi esok, kita punya empat orang tua.